Tepat tanggal 2 Mei lalu kita menikmati sebuah euphoria ceremony Hari Pendidikan Nasional. Mungkin jika kita melihat secara global tentang Pendidikan di Indonesia secara mayoritas kita mengatakan tidak puas dengan apa yang sedang terjadi saat ini. Kita tidak memnunafikkan bahwa hampir di seluruh Bumi pertiwi tercinta ini SD dan SLTP sudah digratiskan, masyarakat dapatlah dikatakan hanya tinggal memasukkan anak-anaknya saja ke dalam sekolahan yang ingin dituju tanpa perlu mempertimbangkan harga yang harus dibayarnya.
Namun, dibalik sebuah rencana implikasi riil dari kebijakan tersebut diatas yaitu masih terdapat beberapa aspek yang harus diperhatikan yang ternyata menjadi semacam sebuah pembayaran uang sekolah dengan cara yang berbeda. Di beberapa daerah metode seperti itu dilakukan dengan taktik bahwa untuk buku paket pelajaran sekolah harus dibeli melalui guru atau pihak sekolah yang bersangkutan, ditambah dengan beberapa argument yang mengatakan bahwa para pelajar mesti ditarik sejumlah uang dengan alasan kesejahteraan lingkungan sekolah seperti uang pembangunan Gedung dan kebersihan.
Hal tersebut sudah jelas-jelas merugikan rakyat Indonesia, hal ini dikarenakan Amanat UUD 1945 menyebutkan untuk anggaran pendidikan di Indonesia sebesar 20% dari APBN, namun kenyataan yang terjadi yaitu Anggaran pendidikan kita hanya berkisar 11, 9% dari APBN. Jelas hal ini merupakan sebagai suatu permasalahan dan sebagai bukti bentuk pengkebirian dan pengkhianatan terhadap UUD 1945.
Sebuah harapan digantungkan dengan berasumsi bahwa proses itu semua akan berujung terhadap kesejahteraan mayarakat indonesia. Namun kenyataan yang terjadi di masyarakat yaitu banyaknya masyarakat Indonesia yang masih saja terbatas untuk mendapatkan akses memperoleh pendidikan yang layak, dimulai dari tingkat SD sampai dengan permasalahan tingkat Mahasiswa sekalipun. Maka kita tidak heran jika melihat sebuah fenomena yang terjadi di masyarakat yaitu anak dokter memiliki akses untuk menjadi seorang dokter lebih besar daripada mereka yang berada diluar itu. Artinya Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya berlaku dalam pendidikan kita. Sehingga hanya yang memiliki modal besarlah yang mampu mendapatkan akses yang lebih besar untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi. Sehingga inilah yang dinamakan kapitalisme dan liberalisme dalam dunia pendidikan kita.
Maka mungkin dapat kita simpulkan bahwa setiap kebijakan yang dibuat dan diambil oleh pemerintah sering tidak mampu terimplikasi dimayarakat dikarenakan ketidakpahaman masyarakat kita dalam memahami kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Sehingga timbullah yang terjadi dimasyarakat yang bernama Kesenjangan Intelektual. Kita sama-sama berharap realisasi Anggaran pendidikan sebesar 20% dapat segera terwujud untuk mempersempit kesenjangan intelektual di Indonesia dan menghapus sistem liberalisasi dan kapitalisme dalam dunia pendidikan di Bumi Nusantara kita ini.. Yang kita inginkan yaitu Terbukanya kesempatan yang sama bagi seluruh masyrakat di Indonesia untuk mendapatkan Pendidikan yang layak. Yang semuanya berujung kepada Peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia..
Hidup Dunia Pendidikan Indonesia..!!
Mahasiswa Ilmu Ekonomi Universitas Lampung
D. Satyabufara |